Ujian Nasional : Trade Off Dunia Pendidikan Indonesia


Baru beberapa hari kemarin kita menyaksikan euforia anak-anak SMA dengan berkonvoi untuk merayakan kelulusan mereka, akibat dari konvoi tersebut sempat membuat arus lalu lintas di sejumlah ruas jalan raya mengalami kemacetan. Tidak hanya macet, suara bising yang dikeluarkan oleh mesin motor menyebabkan pemukiman warga yang dilalui terganggu. Kegiatan seperti ini sudah bisa dipastikan ada setiap tahun, tepatnya ketika pengumuman kelulusan Ujian Nasional tingkat Sekolah Menengah Atas atau sederajat. Kegiatan ini sebagai bentuk ungkapan perasaan bahagia atas dinyatakan lulusnya siswa dari jenjang pendidikan SMA melalui Ujian Nasional yang selama ini masih menjadi “momok” bagi kalangan pelajar.
Ujian Nasional pada awalnya memiliki nama Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS) yang pertama kali dilaksanakan pada tahun ajaran 1984/1985. Apapun penyebutan nama ujian tersebut, tujuannya tetap sama yaitu pemerintah ingin menciptakan siswa unggul. Hingga saat ini, materi Ujian Nasional selalu dikembangkan guna menghasilkan siswa unggul. Tujuan pemerintah ini memang sangat bagus demi masa depan negara Indonesia sendiri. Namun ada satu hal yang mungkin kurang diperhatikan oleh para pengambil kebijakan ini, yakni mengenai kemampuan peserta didik sebagai manusia yang memiliki kemampuan berbeda-beda dan setiap siswa pasti memiliki perbedaan antara siswa satu dengan lainnya, diantaranya perbedaan sosial, fisiologis, dan psikologis dalam belajar. Sudah sering ditemui bahwa siswa yang biasanya di kelas selalu mendapatkan peringkat tiba-tiba tidak lulus Ujian Nasional karena kondisi kesehatan waktu Ujian Nasional tidak fit, ini merupakan salah satu contoh faktor fisiologis yang dapat mempengaruhi hasil dari Ujian Nasional siswa.
Dibalik kesuksesan siswa dalam menempuh Ujian Nasional, peran sosok seorang guru pasti banyak berpengaruh. Sebagai salah satu kunci atas suksesnya anak didik, tugas utama guru adalah mengajar dan mendidik siswanya untuk menuju kesuksesan yakni salah satunya sukses menempuh Ujian Nasional dengan nilai memuaskan. Itu bisa menjadi pekerjaan mudah bagi guru yang mengajar di sekolah yang notabenenya merupakan sekolah unggulan atau favorit, guru sudah tidak terlalu banyak menguras tenaga dan pikiran untuk menuntun siswanya belajar karena siswanya sendiri merupakan siswa pilihan sejak awal masuk sekolah, namun hal ini tidak bisa dijadikan alasan guru tidak bekerja profesional.
Terus bagaimana kabar dengan sekolah yang bisa dikatakan tidak favorit atau pinggiran? Keadaan guru di sekolah seperti ini berbanding 180 derajat dengan sekolah favorit, guru harus bekerja keras untuk menuntun siswanya menuju Ujian Nasional, bahkan kemungkinan terburuk guru bisa menjadi “musuh” pemerintah yang dapat membocorkan kunci jawaban ujian kepada siswanya hanya agar siswanya lulus yang merupakan bentuk kecurangan dalam pelaksanaan Ujian Nasional. Berita seputar kecurangan seperti ini bahkan sering kita temui setiap pelaksanaan Ujian Nasional tiap tahunnya, ini menandakan masih banyak koreksi dari pelaksanaan Ujian Nasional.
Dari fenomena tersebut pemerintah perlu mengkaji ulang pelaksanaan Ujian Nasional, dimana Ujian Nasional bisa tetap dilaksanakan namun bukan dijadikan parameter kelulusan siswa melainkan sebagai bentuk hasil belajar siswa. Sedangkan kelulusan siswa sendiri dapat ditentukan melalui proses belajarnya selama di sekolah yang meliputi akademik serta budi pekerti atau moral, bukan ditentukan oleh ujian yang hanya berlangsung empat hari. Dengan sistem tersebut dapat dipastikan output yang dihasilkan bisa lebih baik daripada Ujian Nasional yang selama ini berlangsung.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUBUNGAN PROBLEMATIKA PERIKANAN DAN KELAUTAN INDONESIA DENGAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT PESISIR

Facebook Teman Berbagi Budaya Khatulistiwa

Lagu Anak-Anak Semakin Kurang ”Greget”